SEJAK kapan manusia dalam sejarah peradabannya menyukai kekerasan dalam segala bentuknya: pembunuhan, mutilasi, pemukulan, dan masih banyak lagi? Kalau sedikit melongok cerita di Perjanjian Lama, maka di situ menjadi jelas darimana kekerasan berupa pembunuhan itu terjadi: Kain membunuh Abil lantaran didera perasaan irihati dan kehendak untuk ‘berkuasa’.
Dari perspektif sejarah kekerasan dalam ‘peradaban’ manusia –setidaknya seperti yang muncul dalam refleksi biblis dalam Kitab Kejadian Bab 4 dst.—The Raid 2: Berandal itu ingin saya bingkaikan.
Nafsu kekuasan
Uco –pemuda tampan anak seorang kepala mafia bernama Bangun—adalah sosok ambisius akan kekuasaan dan tentu saja tak segan menggunakan kekerasan untuk mencapai keinginannya untuk ‘berkuasa’ itu. Setelah berhasil merangkai pertemanan dengan Rama allias Yuda (Iko Uwais) –seorang reserse polisi yang menyamar masuk sampai ke jaringan mafia– maka ambisi akan kekuasaan itu pun dia buka.

Indahnya seni bela diri khas asli Indonesia: pencak silat sebagaimana dipertontonkan Iko Uwais ke pentas dunia melalui layar lebar. (Ilustrasi/Ist)
Kepada ayahnya Bangun (Tio Pakusadewo), maksud ambisius itu dia kemukan namun serta merta ditolak. “Belum saatnya,” begitu kata Bangun yang sejak lama diincar oleh perwira reserse kepolisian (Cok Simbara). Alih-alih taat, Uco menyeberang ke pihak musuh dengan bersekutu bersama Bejo (Alex Abbad) –kepala geng preman yang harus menyangga keseimbangn tubuhnya dengan tongkat.
Singkat cerita, dari posisi kawan menjadi lawan. Bangun yang tak lain adalah ayahnya sendiri menjadi korban ambisi Uco: ditariklah pelatuk revolver hingga ayahnya merenggang nyawa. Tak luput juga centengnya kepercayaannya yakni Eka (Oka Antara) yang ternyata juga mantan seorang polisi. Pun pula, Rama alias Yuda menjadi lawan di seberang sana bagi Uco dan sohib barunya: Bejo.
Kekerasan sebagai tontonan
Perang antargeng preman pun menyesaki hampir seluruh durasi film Indonesia dengan kemasannya yang begitu kental dengan kekerasan: darah memerahi lantai, pisau tajam menyayat tenggorokan, pucuk pedang menusuk tajam daging manusia, dan aneka benda tajam lainnya menentukan akhir hidup manusia.
Kekerasan, sejak kapan menjadi ‘santapan indah’ bagi manusia? Atau, sejak kapan manusia menjadi suka akan kekerasan? Film Indonesia yang dibesut sutradara asing Gareth Evans ini melanjutkan kisah sebelumnya The Raid 1: Redemption dengan satu kemasan sama: mengumbar kekerasan sebagai tontonan.
Sejak kecil saya tak suka melihat darah. Begitu pula sepanjang nonton The Raid ini, saya lebih banyak tutup mata karena tidak tahan alias jijik melihat kebengisan manusia haus darah dan kekuasaan dengan satu cara: membunuh atau melenyapkan saingannya tanpa kenal ampun. Bahkan akrtis cantik sekelas Julie Estelle pun harus dikemas sebagai pembunuh bayaran berdarah dingin dengan dua martil sebagai senjata andalannya.
Kalau tidak tahan menonton kekerasan, abaikan The Raid 2: Berandal. Tapi kalau memang suka melihat darah berceceran kemana-mana dan suka akan kekekasan, maka The Raid 2 ini menjadi menarik karena bisa menjadi semacam potret suram atas sejarah ‘peradaban kekerasan’ manusia.

Kerajaan preman penguasa dunia hitam di Jakarta dimana kelompok Bangun dan Goto bersekutu menguasai Ibukota Indonesia demi kekuasaan akan harta dan uang. (Ilustrasi/Ist)
Khususnya, sejarah peradaban manusia yang selalu disebut Friedrich Nietsche sebagaider Wille zur Macht . Lalu dari mana datangnya nafsu akan kekuasaan (yang lazim disebut the will to power) seperti yang mendera Uco itu? Kata penggagas teori psikoanalisis Sigmund Freud, itu tak lain karena manusia didera oleh dua hasrat alaminya yakni thanatos yang lebih mendominan daripada eros-nya.